E-Commerce
Bukalapak Terancam Sita Aset, Gagal Bayar Ganti Rugi Rp107 Miliar
Rifinet.com, Jakarta – Raksasa e-commerceIndonesia, PT Bukalapak.com Tbk, terjerat dalam pusaran sengketa hukum yang berujung pada kewajiban membayar ganti rugi sebesar Rp107 miliar kepada PT Harmas Jalesveva, pemilik Gedung One Belpark Office di Jakarta Selatan.
Permasalahan bermula dari pembatalan sepihak perjanjian sewa menyewa gedung oleh Bukalapak, meskipun PT Harmas Jalesveva telah menyelesaikan pembangunan sesuai spesifikasi yang diminta. Kini, bayang-bayang sita aset menghantui Bukalapak jika mereka tidak segera memenuhi kewajiban tersebut.
Kisruh ini bermula pada tahun 2021, ketika Bukalapak dan PT Harmas Jalesveva menandatangani Letter of Intent (LOI) untuk sewa menyewa Gedung One Belpark Office yang berlokasi di Jalan Fatmawati Raya. Dalam perjanjian tersebut, Bukalapak menyatakan niatnya untuk menyewa seluruh lantai gedung. PT Harmas Jalesveva pun segera melaksanakan pembangunan gedung dengan investasi yang tidak sedikit.
“Kami telah menyelesaikan pembangunan gedung sesuai dengan spesifikasi yang diminta Bukalapak, termasuk desain, material, dan fasilitas,” ujar Direktur Utama PT Harmas Jalesveva, Ir. Harjanto Wibowo, dalam wawancara khusus dengan tim liputan kami.
Namun, pada tahun 2023, setelah gedung rampung dibangun, Bukalapak justru membatalkan perjanjian secara sepihak. Alasan yang dikemukakan adalah keterlambatan penyelesaian pembangunan oleh PT Harmas Jalesveva.
“Kami sangat kecewa dengan tindakan Bukalapak. Mereka membatalkan perjanjian tanpa alasan yang jelas dan merugikan kami secara material,” tambah Ir. Harjanto.
Pembatalan sepihak ini memaksa PT Harmas Jalesveva menanggung kerugian finansial yang cukup besar. Selain investasi pembangunan gedung, mereka juga telah membayar komisi kepada agen properti yang ditunjuk Bukalapak, PT Leads Property Services Indonesia.
Merasa dirugikan, PT Harmas Jalesveva pun menggugat Bukalapak ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tahun 2023. Setelah melalui proses persidangan yang panjang, pengadilan memutuskan Bukalapak bersalah dan wajib membayar ganti rugi sebesar Rp107 miliar kepada PT Harmas Jalesveva.
Bukalapak kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, namun ditolak. Upaya kasasi ke Mahkamah Agung pun berakhir dengan keputusan yang sama. Putusan MA tersebut sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht).
“Putusan MA ini sudah final dan mengikat. Bukalapak tidak memiliki alasan lagi untuk tidak membayar ganti rugi,” tegas Dolvianus Nana, kuasa hukum PT Harmas Jalesveva.
Meskipun putusan MA sudah inkracht, Bukalapak tampaknya masih enggan membayar ganti rugi. Mereka berdalih masih memiliki upaya hukum Peninjauan Kembali (PK). Namun, Dolvianus menegaskan bahwa upaya PK tidak menunda eksekusi. Pihaknya telah mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
“Dalam waktu dekat, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akan melakukan peneguran (aanmaning) terhadap Bukalapak untuk segera membayar kerugian kepada PT Harmas sebesar Rp107 miliar,” jelas Dolvianus.
Jika Bukalapak tetap tidak mengindahkan aanmaning, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dapat melakukan sita eksekusi terhadap aset Bukalapak. Aset-aset tersebut akan dilelang untuk menutupi kewajiban Bukalapak kepada PT Harmas Jalesveva.
Dr. Rian Ernest, S.H., M.H., pakar hukum perdata dari Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa pembatalan sepihak perjanjian oleh Bukalapak dapat dikategorikan sebagai wanprestasi.
“Dalam hukum perdata, wanprestasi adalah kelalaian atau ingkar janji dalam memenuhi suatu perjanjian. Akibatnya, pihak yang melakukan wanprestasi wajib memberikan ganti rugi kepada pihak lain,” ujar Dr. Rian.
Kegagalan Bukalapak membayar ganti rugi dapat berdampak negatif pada citra dan reputasi perusahaan. Investor dan mitra bisnis akan mempertimbangkan kepatuhan perusahaan terhadap hukum dalam mengambil keputusan investasi atau kerja sama.
Hingga berita ini diturunkan, pihak Bukalapak belum memberikan tanggapan resmi terkait eksekusi putusan MA. Sebelumnya, AVP of Media and Communications Bukalapak, Fairuza Ahmad Iqbal, hanya menyebutkan bahwa pihaknya akan menempuh upaya hukum PK.
Kasus ini menjadi preseden penting dalam dunia bisnis di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa perjanjian bisnis harus dihormati dan dilaksanakan dengan itikad baik. Pembatalan sepihak perjanjian dapat berakibat fatal, baik secara finansial maupun reputasi. Bukalapak kini dihadapkan pada pilihan sulit: membayar ganti rugi atau berisiko kehilangan aset berharga.
Publik pun menunggu kelanjutan dari kasus ini. Akankah Bukalapak memenuhi kewajiban hukumnya atau justru menghadapi sita aset? Hanya waktu yang dapat menjawabnya. (alief/syam)