DenyutPasar
Mirae Asset Sekuritas Terlibat Sengketa Hukum dengan Nasabah Galbay, Digugat Balik Triliunan Rupiah
Rifinet.com, Jakarta– PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia tengah menghadapi badai hukum. Perusahaan sekuritas ini terlibat dalam sengketa dengan 45 nasabahnya yang berujung pada gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kasus ini bermula dari kegagalan 45 nasabah tersebut dalam memenuhi kewajiban pembayaran kepada Mirae Asset.
Direktur Mirae Asset, Arisandhi Indrodwisatio, menjelaskan bahwa langkah hukum diambil sebagai upaya terakhir setelah berbagai upaya musyawarah untuk menyelesaikan kewajiban nasabah tidak membuahkan hasil.
“Kami telah berusaha mencari solusi terbaik melalui musyawarah, namun tidak ada itikad baik dari para nasabah untuk menyelesaikan kewajibannya yang telah tertunggak selama beberapa tahun terakhir,” ungkap Arisandhi dalam keterangan pers pada 11 Oktober 2024.
Gugatan yang dilayangkan pada awal September 2024 ini merupakan langkah Mirae Asset untuk mempertahankan hak hukumnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Mirae Asset berkomitmen untuk menegakkan aturan dan memastikan semua pihak yang terlibat dalam transaksi saham memenuhi kewajibannya.
“Kami juga akan bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan pihak berwenang lainnya untuk menjamin proses hukum ini berjalan dengan transparan dan sesuai dengan peraturan,” tegas Arisandhi.
Situasi semakin rumit ketika 40 dari 45 nasabah yang digugat balik mengajukan gugatan kepada Mirae Asset pada akhir September 2024. Nilai gugatan balik ini fantastis, mencapai triliunan rupiah. Arisandhi menilai gugatan balik tersebut tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan perhitungan nominal gugatannya tidak relevan.
“Tuntutan yang diajukan oleh 40 nasabah tersebut sangatlah tidak berdasar, terutama dalil atau dasar hukum gugatan yang kabur (obscure) serta perhitungan nominal gugatan yang sama sekali tidak berhubungan,” jelas Arisandhi.
Meskipun demikian, Arisandhi enggan memberikan komentar lebih lanjut terkait detail gugatan balik tersebut. Ia menyerahkan sepenuhnya proses hukum kepada pengadilan.
Menariknya, berdasarkan penelusuran dari berbagai sumber, terungkap bahwa salah satu nasabah yang terlibat dalam gugatan ini adalah Asep Sulaeman Sabanda, yang dikenal dengan sebutan Sultan Subang. Asep Sulaeman Sabanda dan 39 nasabah lainnya mengajukan gugatan dengan total nilai mencapai Rp8,17 triliun.
Gugatan tersebut dilayangkan melalui kuasa hukumnya, Kamaruddin Simanjuntak. Dalam gugatannya, para nasabah menuntut ganti rugi atas kerugian yang dialami akibat adanya dugaan tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh Mirae Asset.
Sayangnya, hingga saat ini, belum ada keterangan resmi dari pihak Kamaruddin Simanjuntak mengenai detail gugatan tersebut.
Di tengah pusaran konflik hukum ini, Mirae Asset menegaskan bahwa operasional perusahaan tetap berjalan normal. Aktivitas transaksi seluruh instrumen investasi pasar modal, baik pembelian, penjualan, maupun penyelesaian transaksi, tidak terganggu.
“Kami memastikan semua aset milik nasabah aman, baik dana tunai di Rekening Dana Nasabah (RDN) maupun efek surat berharga. Semuanya dikelola oleh Bank Kustodian dan PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) secara terpisah dengan aset nasabah lain maupun aset perusahaan,” jelas Arisandhi.
Mirae Asset juga menegaskan posisinya sebagai salah satu sekuritas terbesar di Indonesia berdasarkan nilai, volume, dan frekuensi transaksi saham. Kinerja keuangan perusahaan pun dilaporkan tetap solid.
“Laporan keuangan perusahaan tahun 2023 menunjukkan aset yang kuat dan permodalan yang stabil,” ungkap Arisandhi.
“Permodalan Perseroan yang kuat ditunjukkan oleh Modal Kerja Bersih Disesuaikan (MKBD) yaitu di kisaran Rp1,4 triliun setahun terakhir,” tambahnya.
MKBD merupakan indikator kekuatan modal sebuah perusahaan efek. Penghitungan MKBD didasarkan pada aset dan modal perusahaan dikurangi komponen kewajiban. Minimal MKBD yang harus dimiliki oleh sebuah perusahaan efek adalah Rp25 miliar atau 6,25% dari total kewajiban terperingkat (ranking liabilities) perusahaan.
Kasus ini menghadirkan pentingnya transparansi dan perlindungan investor di pasar modal. OJK perlu mengawasi proses hukum yang sedang berjalan untuk menjamin keadilan bagi semua pihak. Selain itu, OJK juga perlu meningkatkan edukasi dan sosialisasi kepada investor mengenai risiko investasi, hak dan kewajiban investor, serta mekanisme penyelesaian sengketa.
Penyelesaian kasus ini secara adil dan transparan akan mempengaruhi kepercayaan publik terhadap industri pasar modal di Indonesia. Kita tunggu hasil akhir dari proses hukum yang sedang berlangsung. (alief/syam)