FinTech
OJK Cabut Izin 4 Fintech P2P Lending di 2024, Investree yang Terakhir
Rifinet.com, Jakarta– Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus menunjukkan komitmennya dalam menjaga kesehatan industri fintech peer-to-peer (P2P) lending di Indonesia. Sepanjang tahun 2024 ini, OJK telah mencabut izin usaha empat penyelenggara fintech P2P lending, yang lebih dikenal dengan istilah pinjaman online (pinjol).
Keempatnya adalah PT Tani Fund Madani Indonesia (TaniFund), PT Akur Dana Abadi (Jembatan Emas), PT Semangat Gotong Royong (Dhanapala), dan yang terbaru PT Investree Radika Jaya (Investree). Pencabutan izin ini dilakukan karena perusahaan-perusahaan tersebut tidak mampu memenuhi ketentuan yang berlaku, terutama terkait permodalan dan tata kelola perusahaan. Langkah tegas ini diambil OJK untuk melindungi konsumen dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap industri fintech lending.
TaniFund menjadi fintech P2P lending pertama yang dicabut izinnya oleh OJKpada tahun ini. Melalui Surat Keputusan Dewan Komisioner OJK Nomor KEP-19/D.06/2024 tanggal 3 Mei 2024, OJK resmi mencabut izin usaha TaniFund. “Pencabutan ini dilakukan karena TaniFund telah dikenakan penegakan kepatuhan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu tidak memenuhi ketentuan ekuitas minimum dan tidak melaksanakan rekomendasi pengawasan OJK,” jelas Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan dan Komunikasi OJK, Aman Santosa.
Sebelum mencabut izin usaha TaniFund, OJK telah melakukan berbagai langkah pengawasan dan memberikan sanksi administratif secara bertahap, hingga Pembatasan Kegiatan Usaha (PKU). OJK juga telah berkomunikasi secara intensif dengan pengurus dan pemegang saham untuk memastikan komitmen penyelesaian permasalahan. “Namun demikian, sampai dengan batas waktu yang ditentukan, pengurus dan pemegang saham tidak dapat menyelesaikan permasalahan.
Sehingga TaniFund dikenakan sanksi pencabutan izin usaha,” tambah Aman. Untuk memberikan kepastian hukum dan melindungi pengguna serta pihak lain yang terkait, OJK telah membentuk tim likuidasi untuk proses pembubaran TaniFund. Tim likuidasi ini dibentuk berdasarkan hasil Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) TaniFund.
Berbeda dengan TaniFund, Jembatan Emas dan Dhanapala menutup operasinya dengan mengembalikan izin usaha kepada OJK. Jembatan Emas mengumumkan penutupan bisnisnya pada 30 September 2023 melalui laman resminya. “Dengan berat hati, kami sampaikan bahwa sejak 30 September 2023 Jembatan Emas resmi berhenti melakukan kegiatan transaksi pendaftaran pengguna dan penyaluran pinjaman,” tulis manajemen Jembatan Emas.
Jembatan Emas mengajukan permohonan pengembalian izin usaha karena belum dapat memenuhi ketentuan permodalan terkait ekuitas minimum dan pemenuhan jumlah direksi. OJK kemudian menyetujui permohonan tersebut melalui Keputusan Dewan Komisioner Nomor KEP-33/D.06/2024 tertanggal 3 Juli 2024.
Sementara itu, Dhanapala mengembalikan izin usahanyasebagai langkah strategis pemegang saham untuk memusatkan kegiatan usaha Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) pada satu entitas. OJK menyetujui pengembalian izin Dhanapala melalui Keputusan Dewan Komisioner Nomor KEP-35/D.06/2024 tanggal 5 Juli 2024.
Investree menjadi fintech P2P lending terbaru yang dicabut izin usahanya oleh OJK. Keputusan ini diambil berdasarkan Keputusan Dewan Komisioner OJK Nomor KEP-53/D.06/2024 pada 21 Oktober 2024. Plt. Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan dan Komunikasi OJK, M. Ismail Riyadi, menjelaskan bahwa pencabutan izin usaha Investree terutama karena melanggar ketentuan ekuitas minimum dan ketentuan lainnya yang diatur dalam POJK Nomor 10 Tahun 2022 tentang LPBBTI.
Selain itu, kinerja Investree juga memburuk sehingga mengganggu operasional dan pelayanan kepada masyarakat. “Pencabutan izin usaha tersebut juga merupakan bagian dari upaya OJK untuk mewujudkan industri jasa keuangan yang sehat, khususnya penyelenggara LPBBTI yang berintegritas, memiliki tata kelola yang baik dan menerapkan manajemen risiko yang memadai dalam rangka perlindungan nasabah/masyarakat,” tegas Ismail.
Sebelum mencabut izin usaha, OJK telah meminta pengurus dan pemegang saham Investree untuk memenuhi kewajiban ekuitas minimum, mendapatkan strategic investor yang kredibel, dan melakukan upaya perbaikan kinerja serta pemenuhan terhadap ketentuan yang berlaku.
OJK juga telah berkomunikasi dengan ultimate beneficial owner (UBO) pemegang saham Investree. “OJK juga telah mengambil tindakan tegas dengan memberikan sanksi administratif secara bertahap terhadap Investree, antara lain Sanksi Peringatan sampai dengan Pembatasan Kegiatan Usaha (PKU) sebelum dilakukan pencabutan izin usaha,” jelas Ismail. Namun, hingga batas waktu yang ditentukan, pengurus dan pemegang saham Investree tidak mampu memenuhi ketentuan dan menyelesaikan permasalahan tersebut.
Pencabutan izin usaha fintech P2P lending tentu berdampak pada berbagai pihak, baik perusahaan, investor, maupun peminjam (borrower). Bagi perusahaan, pencabutan izin usaha berarti mereka harus menghentikan seluruh kegiatan operasionalnya.
Perusahaan juga wajib menyelesaikan kewajiban kepada investor dan peminjam. Investor akan mengalami kerugian jika perusahaan tidak mampu mengembalikan dana yang telah diinvestasikan. Sementara itu, peminjam tetap wajib melunasi pinjamannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
Pencabutan izin usaha terhadap empat fintech P2P lending ini menunjukkan keseriusan OJK dalam menjaga kesehatan industri fintech P2P lending di Indonesia. OJK terus melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas pengawasan dan perlindungan konsumen.
OJK telah menerbitkan POJK Nomor 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) yang mengatur seluruh aspek kegiatan fintech P2P lending. OJK melakukan pemeriksaan secara on-site dan off-site untuk memastikan perusahaan memenuhi ketentuan yang berlaku.
OJK tidak segan-segan memberikan sanksi administratif, bahkan mencabut izin usaha jika perusahaan terbukti melakukan pelanggaran. OJK aktif melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai fintech P2P lending agar masyarakat dapat memahami risiko dan manfaatnya.
OJK juga mendorong penyelenggara fintech P2P lending untuk meningkatkan tata kelola perusahaan, manajemen risiko, dan perlindungan konsumen. Dengan demikian, diharapkan industri fintech P2P lending dapat berkembang secara sehat dan berkelanjutan serta memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat. (alief/syam)