Connect with us

FinTech

Pinjol Hadapi Tantangan Kelas Menengah Menyusut, Inovasi Jadi Kunci

Published

on

Rifinet.com, Jakarta– Penurunan kelas menengah di Indonesia menjadi tantangan serius bagi industri pinjaman online (pinjol) atau peer-to-peer (P2P) lending. Menyusutnya daya beli masyarakat meningkatkan risiko kredit macet, membuat para pelaku industri harus memutar otak mencari strategi baru.

Sekjen Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Tiar N. Karlaba, mengungkapkan bahwa penurunan kelas menengah berdampak pada kemampuan masyarakat membayar cicilan pinjaman. Untuk mengatasi ini, AFPI mendorong penggunaan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) dan big data untuk penilaian kredit yang lebih akurat. Selain itu, fleksibilitas produk pinjaman juga menjadi kunci, misalnya dengan menawarkan tenor lebih pendek atau pinjaman dengan agunan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penurunan signifikan kelas menengah. Sebanyak 9,4 juta orang turun kelas menjadi aspiring middle class dalam lima tahun terakhir. Hal ini berdampak pada target pertumbuhan industri pinjol. AFPI bahkan mempertimbangkan untuk mengoreksi target outstanding pembiayaan tahun ini.

Namun, tidak semua pemain pinjol pesimis. Modalku, misalnya, tetap optimis mencapai pertumbuhan pembiayaan tahun ini. Strategi mereka adalah selektif dalam menyalurkan dana, fokus pada UMKM potensial, dan menerapkan manajemen risiko ketat. “Kami melakukan penilaian kredit komprehensif dan terus menyempurnakan kriteria kelayakan penerima dana,” ujar Arthur Adisusanto, Country Head Modalku Indonesia.

Sementara itu, Akseleran memiliki pandangan berbeda. Mereka menilai penurunan kelas menengah tidak berhubungan langsung dengan kredit macet. Menurut Ivan Nikolas, Group CEO & Co Founder Akseleran, faktor suku bunga Bank Indonesia lebih berpengaruh. Kenaikan suku bunga meningkatkan beban bunga peminjam, sehingga risiko kredit macet meningkat.

Advertisement

Meskipun TWP90 (Tingkat Wanprestasi 90 hari) per Juni 2024 menurun menjadi 2,79%, outstanding kredit macet untuk kelompok usia produktif (35-54 tahun) justru naik menjadi Rp557,34 miliar. Ini menunjukkan bahwa tantangan kredit macet tetap ada, terutama di segmen usia produktif yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi.

Inovasi dan adaptasi menjadi kunci bagi industri pinjol untuk bertahan dan tumbuh di tengah tantangan ini. Penggunaan teknologi, fleksibilitas produk, manajemen risiko yang baik, serta pemahaman mendalam tentang perilaku konsumen akan menjadi faktor penentu kesuksesan di masa depan. (alief/syam)