ZonaBebas
Pakar Desak OJK Pertahankan Kewajiban Kredit 30% untuk UMKM

Rifinet.com, Jakarta– Rancangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (RPOJK) tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang tengah digodok oleh OJK memicu perdebatan sengit di kalangan pengamat ekonomi. Inti perdebatan ini berkisar pada rencana OJK untuk menghapus kewajiban porsi kredit sebesar 30% bagi bank dan lembaga keuangan non-bank yang harus disalurkan kepada UMKM.
Para pengamat ekonomi, seperti Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, dengan tegas menolak rencana ini. Bhima menekankan peran krusial UMKM sebagai fondasi ekonomi nasional yang telah terbukti tahan banting di tengah berbagai guncangan ekonomi. Ia mengingatkan bagaimana UMKM mampu menjadi penyelamat lapangan kerja di daerah saat krisis ekonomi melanda pada tahun 2008 dan 2013.
“Kewajiban pemberian kredit kepada UMKM (mandatory loan) masih sangat dibutuhkan,” tegas Bhima. “Jika serapan kredit bank ke UMKM tidak mencapai target, bukan targetnya yang dihapus, melainkan perlu dicari solusi untuk meningkatkan penyaluran kredit tersebut.”
Data Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa UMKM berkontribusi sebesar 61,07% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dan menyerap 97% dari total tenaga kerja di Indonesia. Angka-angka ini menegaskan betapa vitalnya peran UMKM dalam perekonomian Indonesia.
Namun, di tengah peran pentingnya, UMKM masih menghadapi berbagai tantangan, terutama dalam hal akses pembiayaan. Data OJK per Agustus 2024 menunjukkan bahwa porsi kredit UMKM terhadap total kredit perbankan masih berada di angka 21,61%, jauh dari target 30% yang ditetapkan pemerintah.
Direktur Ekonomi Celios, Nailul Huda, turut menyuarakan kekhawatirannya terkait rencana penghapusan kewajiban 30% kredit untuk UMKM. Ia berpendapat bahwa penghapusan ini dapat berdampak pada penurunan akses pembiayaan bagi sektor UMKM.
“Jika dihapuskan, bank cenderung akan lebih memilih menyalurkan kredit ke korporasi besar karena keuntungannya lebih besar dengan risiko yang lebih kecil,” ujar Huda.
Di tengah polemik ini, OJK berusaha meyakinkan publik bahwa pembiayaan UMKM akan tetap menjadi prioritas. Kepala Departemen PMVL OJK, Edi Setijawan, menegaskan bahwa RPOJK tersebut tidak akan mengurangi pembiayaan dari industri keuangan non-bank kepada UMKM.
“Untuk LJK PMVL tidak ada masalah. Karena secara umum selama ini UMKM merupakan target utama,” kata Edi.
Data OJK per Juli 2024 menunjukkan bahwa pembiayaan UMKM dari perusahaan pembiayaan memang mengalami peningkatan, mencapai Rp182,56 triliun. Namun, terjadi penurunan pada pembiayaan UMKM oleh pinjaman online (pinjol), dengan outstanding pinjaman kepada UMKM perseorangan mencapai Rp15,14 triliun.
Untuk mengatasi tantangan akses pembiayaan UMKM, Bhima Yudhistira mengusulkan penguatan sinergi antara bank dengan lembaga keuangan non-bank seperti fintech P2P lending, koperasi simpan pinjam, dan perusahaan pembiayaan.
“Fasilitas channeling bisa dioptimalkan oleh bank dengan dukungan OJK, mengingat sektor non-bank juga semakin berkembang,” jelas Bhima.
Selain itu, OJK juga telah mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan pembiayaan UMKM dari sektor non-bank, antara lain dengan mendorong peningkatan permodalan, penguatan kualitas SDM, teknologi informasi, dan manajemen risiko, serta edukasi dan perlindungan konsumen.
Polemik mengenai kewajiban 30% porsi kredit untuk UMKM ini menunjukkan betapa pentingnya isu ini bagi masa depan UMKM. Diperlukan kolaborasi antara pemerintah, regulator, lembaga keuangan, dan pelaku UMKM untuk menciptakan ekosistem pembiayaan yang kondusif bagi pertumbuhan UMKM.
Dengan dukungan yang tepat, UMKM dapat terus berkembang dan memberikan kontribusi yang lebih besar bagi perekonomian nasional, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. (alief/syam)
