FinTech
OJK Cabut Izin Investree, Lender Merugi Ratusan Juta dan CEO Diburu Interpol
Rifinet.com, Jakarta – Badai menerjang salah satu pionir fintech peer-to-peer (P2P) lending di Indonesia. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi mencabut izin usaha PT Investree Radhika Jaya (Investree) pada Senin (21/10/2024). Keputusan ini diambil setelah perusahaan melanggar ketentuan ekuitas minimum dan menunjukkan kinerja buruk yang mengakibatkan kerugian bagi para lender (pemberi pinjaman). Christoper Purba Girsang, salah satu lenderInvestree, menjadi salah satu korban dalam pusaran masalah ini. Ia mengaku merugi Rp154,6 juta dan menuntut keadilan.
“Kerugian saya di angka Rp154,6 juta. Saya berharap OJK dapat menyelesaikan kasus ini dengan baik dan benar, mengungkap apakah ada pelanggaran terkait kewenangan direksi Investree yang mengarah pada fraud,” ujar Christoper dilansir dari CNBC Indonesia, Selasa (22/10/2024).
Christoper juga mendesak agar pihak-pihak yang terbukti melakukan kecurangan diproses secara hukum dan Investree dapat membayarkan kewajibannya kepada para lenderyang dirugikan. Kasus ini semakin rumit karena Co-Founder dan CEO Investree, Adrian Asharyanto Gunadi, saat ini berada di luar negeri. OJK tengah berupaya memburu Adrian dan telah berkoordinasi dengan aparat penegak hukum (APH) untuk melakukan penyidikan.
Kepala Departemen Perizinan, Pemeriksaan Khusus dan Pengendalian Kualitas Pengawasan Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PMVL) OJK, Edi Setijawan, menegaskan bahwa pihaknya bekerja sama dengan Interpol untuk memulangkan Adrian.
“Kami sedang melakukan penyidikan, termasuk menentukan pasal pidana yang akan dikenakan. Kerja sama dengan instansi terkait, termasuk Interpol, akan dilakukan pada waktunya,” jelas Edi.
Investree didirikan pada tahun 2015 oleh Adrian Gunadi dan Amir Amiruddin. Platform ini hadir sebagai solusi bagi masyarakat yang ingin meminjam atau memberikan pinjaman secara online. Investree sempat menjadi primadona dan mencatatkan pertumbuhan pesat. Data OJK mencatat, pada tahun 2021, total penyaluran pinjaman di industri fintech P2P lendingmencapai Rp349,15 triliun, dan Investree menjadi salah satu pemain utama.
Namun, di balik kesuksesan tersebut, Investree mulai menghadapi tantangan. Tingkat kredit macet (non-performing loan/NPL) yang tinggi menjadi momok yang menggerogoti kinerja perusahaan. Pada Februari 2024, Adrian Gunadi diberhentikan dari jabatannya sebagai CEO di tengah tingginya NPL Investree. Berdasarkan data di laman resmi Investree saat itu, tingkat keberhasilan bayar (TKB90) Investree hanya mencapai 83,56%. Angka ini menunjukkan bahwa sebesar 16,44% pinjaman di Investree tergolong macet.
Kondisi keuangan Investree semakin memburuk. Laporan keuangan Investree per Desember 2023 menunjukkan perusahaan mencatatkan rugi bersih sebesar Rp17,3 miliar. Ekuitas Investree juga tercatat negatif sebesar Rp41,9 miliar. Kondisi ini jelas melanggar ketentuan OJK tentang ekuitas minimum yang harus dipenuhi oleh perusahaan fintech P2P lending.
Puncaknya, OJK mencabut izin usaha Investree pada 21 Oktober 2024. OJK menilai Investree telah melanggar ketentuan ekuitas minimum dan melakukan penghimpunan dana tanpa izin.
Pencabutan izin usaha Investree menimbulkan kecemasan di kalangan lender. Banyak yang merasa dirugikan dan menuntut pertanggungjawaban dari pihak Investree.
“Kami berharap OJK dapat melindungi hak-hak kami sebagai lender,” ujar salah satu lenderInvestree yang enggan disebutkan namanya. Ia mengaku memiliki dana mencapai Rp50 juta yang masih tertahan di Investree.
OJK sendiri telah menjamin bahwa dana lender akan dikembalikan melalui proses likuidasi. Namun, proses ini diperkirakan akan memakan waktu dan belum ada kepastian kapan para lenderakan menerima dana mereka.
“Sesuai ketentuan yang berlaku, Investree wajib menyelenggarakan RUPS paling lambat 30 hari kalender sejak tanggal pencabutan izin usaha untuk pembentukan Tim Likuidasi dan pembubaran badan hukum Investree,” ungkap Edi Setijawan.
Kasus Investree menjadi pukulan bagi industri fintech P2P lending di Indonesia. Kepercayaan masyarakat terhadap platform P2P lendingdikhawatirkan akan menurun.
Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Entjik S. Djafar, mengakui bahwa kasus ini berdampak pada industri. Namun, ia menegaskan bahwa AFPI terus berupaya meningkatkan transparansi dan tata kelola di sektor ini.
“Kami terus berkoordinasi dengan OJK untuk memperkuat pengawasan dan melindungi kepentingan konsumen,” ujar Entjik.
OJK sendiri telah mengambil langkah-langkah untuk memperketat pengawasan terhadap industri fintech P2P lending. Salah satunya adalah dengan meningkatkan ketentuan modal minimum bagi perusahaan fintech P2P lending.
Para lenderInvestree kini menanti keadilan dan kepastian hukum. Mereka berharap OJK dapat mengusut tuntas kasus ini dan membawa para pelaku ke meja hijau.
Kasus Investree menjadi pengingat bagi semua pihak, baik regulator, pelaku industri, maupun masyarakat, akan pentingnya transparansi, tata kelola yang baik, dan perlindungan konsumen dalam industri fintech.
Masyarakat juga diharapkan untuk lebih cermat dan berhati-hati dalam memilih platform fintech P2P lending. Pastikan platform tersebut terdaftar dan diawasi oleh OJK. (nova/fine)