RaksasaBisnis
Muhammadiyah Tolak Merger BPRS, OJK Didorong Beri Diskresi

Rifinet.com, Jakarta– Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menyatakan keberatannya atas rencana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menggabungkan seluruh Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) milik Muhammadiyah menjadi satu entitas bank yang lebih besar. Penolakan ini didasarkan pada kekhawatiran akan hilangnya identitas dan budaya masing-masing BPRS yang selama ini telah berkembang secara independen.
Ketua PP Muhammadiyah, Anwar Abbas, mengungkapkan bahwa setiap BPRS memiliki budaya korporasi dan sejarah pendirian yang berbeda-beda. “Secara teoritis, merger mudah dilakukan. Tapi tujuan OJK dalam mengkonsolidasi BPRS menjadi bank syariah besar ini bisa berujung ambruk,” kata Anwar Abbas di Jakarta, Jumat (11/10/2024).
Anwar Abbas menegaskan bahwa merger berpotensi menimbulkan masalah besar karena adanya perbedaan budaya korporasi dan budaya pemilik saham di masing-masing BPRS. “Ada yang kepemilikan sahamnya itu amal usaha, ada juga yang sedikit. Dan masing-masing culturedari pemilik sahamnya juga berbeda-beda,” jelasnya.
Lebih lanjut, Anwar Abbas mempertanyakan kesiapan OJK dalam mengantisipasi dan mengatasi potensi masalah yang muncul pasca merger. “Apakah OJK tanggung jawab? Dan kalau OJK mengawasi, kan nggak bisa day-to-dayOJK mengawasi. Jadi menurut saya akan lebih besar masalahnya untuk tidak dipaksakan oleh OJK agar demerger,” tegasnya.
Penggabungan dikhawatirkan akan mengaburkan identitas dan menghilangkan nilai-nilai yang telah dipegang teguh oleh masing-masing BPRS. BPRS Muhammadiyah memiliki komposisi pemegang saham yang beragam, baik dari kalangan amal usaha maupun individu. Perbedaan budaya di antara para pemilik saham ini dikhawatirkan akan menyulitkan proses pengambilan keputusan dan pengelolaan bank hasil merger.
Penggabungan BPRS yang memiliki budaya dan sistem manajemen yang berbeda berpotensi menimbulkan konflik internal dan mengganggu kinerja bank. OJK dianggap tidak akan mampu melakukan pengawasan secara optimal terhadap bank hasil merger karena cakupan wilayah operasional yang luas dan kompleksitas permasalahan yang mungkin timbul.
Sebagai alternatif dari merger, Muhammadiyah mengusulkan agar OJK memberikan pendampingan kepada masing-masing BPRS untuk meningkatkan kapasitas dan kinerja. “Muhammadiyah itu sudah terbiasa dengan budaya pluralisme. Masing-masing usahanya bakal berkompetisi,” ujar Anwar Abbas.
Pengamat ekonomi syariah, Adiwarman Karim, mendukung sikap Muhammadiyah yang menolak merger BPRS. Menurutnya, merger belum tentu menjadi solusi terbaik untuk memperkuat BPRS. “Setiap BPRS memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing. Merger bisa saja menghilangkan keunggulan yang dimiliki oleh BPRS tertentu,” kata Adiwarman Karim kepada wartawan.
Adiwarman Karim menyarankan agar OJK lebih fokus pada peningkatan kualitas manajemen dan permodalan BPRS. “OJK perlu memberikan insentif kepada BPRS yang berkinerja baik dan mendorong BPRS untuk melakukan inovasi produk dan layanan,” ujarnya.
Hingga berita ini diturunkan, OJK belum memberikan tanggapan resmi terkait penolakan Muhammadiyah terhadap rencana merger BPRS.
Rencana OJK untuk menggabungkan seluruh BPRS milik Muhammadiyah menjadi satu bank besar memang menuai pro dan kontra. Di satu sisi, merger diharapkan dapat memperkuat permodalan dan meningkatkan daya saing BPRS. Namun di sisi lain, merger dikhawatirkan akan menghilangkan identitas dan budaya masing-masing BPRS.
OJK perlu mempertimbangkan secara matang masukan dari berbagai pihak, termasuk Muhammadiyah, sebelum mengambil keputusan terkait merger BPRS. OJK juga perlu memastikan bahwa merger dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan tidak merugikan kepentingan nasabah dan pemilik saham BPRS. (alief/fine)
