Connect with us

FinTech

Kredit Macet Menghantui UMKM, Terjepit di Tengah Badai Resesi

Published

on

Rifinet.com, Jakarta– Gelombang resesi global yang kian mendekat menimbulkan riak kecemasan di sektor riil Indonesia, terutama bagi para pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Bukan hanya dibayangi oleh melemahnya daya beli masyarakat, UMKM kini juga dihadapkan pada peningkatan kredit macet dan akses kredit yang makin sempit.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) UMKM pada Agustus 2024 mencapai 4,05%, naik 7 basis poin (bps) secara tahunan (year-on-year/yoy) dan 1 bps secara bulanan (month-to-month/mtm). Angka ini menunjukkan adanya peningkatan kredit macet pada sektor UMKM, sebuah sinyal yang cukup memprihatinkan di tengah upaya pemulihan ekonomi nasional.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Edina Rae, mengungkapkan bahwa peningkatan NPL UMKM ini telah diprediksi sebelumnya. Berakhirnya masa relaksasi restrukturisasi kredit yang diberikan selama pandemi Covid-19 menjadi salah satu faktor utama yang memicu kenaikan NPL tersebut. “Peningkatan NPL UMKM dan penurunan Loan at Risk (LaR) UMKM telah diprediksi sebelumnya sejalan dengan berakhirnya relaksasi restrukturisasi kredit terkait pandemi Covid-19,” ujar Dian.

Kebijakan restrukturisasi kredit yang sebelumnya menjadi penyangga bagi UMKM di masa pandemi, kini justru memunculkan permasalahan baru. Banyak UMKM yang belum mampu pulih sepenuhnya dan mengalami kesulitan dalam membayar kredit pasca berakhirnya masa relaksasi.

Selain itu, Dian juga menyoroti menciutnya porsi kredit UMKM terhadap total kredit perbankan. Meskipun mengalami sedikit kenaikan dari 19,56% pada Juli 2024 menjadi 19,64% pada Agustus 2024, angka ini masih lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 20,96%. “Pertumbuhan kredit UMKM yang jauh lebih lambat dari kredit non-UMKM menyebabkan porsi kredit UMKM terhadap total kredit tercatat sebesar 19,64%,” jelas Dian.

Advertisement

Menciutnya porsi kredit UMKM ini menunjukkan bahwa perbankan masih enggan menyalurkan kredit kepada sektor UMKM. Tingginya risiko kredit di sektor ini menjadi salah satu pertimbangan utama perbankan dalam menyalurkan kredit.

Temuan OJK ini diperkuat oleh data dari Bank Indonesia (BI). Berdasarkan laporan Analisis Uang Beredar yang dirilis BI, penyaluran kredit UMKM pada Agustus 2024 hanya tumbuh sebesar 4,3% yoy, melambat dibandingkan Juli 2024 sebesar 5,1% yoy. Perlambatan pertumbuhan kredit terjadi di hampir semua skala usaha. Kredit usaha kecil tumbuh 4% yoy pada Agustus 2024, naik tipis dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 3,8% yoy.

Kredit usaha menengah justru menunjukkan pelambatan dengan pertumbuhan 2,3% yoy pada Agustus 2024, lebih kecil dibandingkan Juli 2024 sebesar 3,1% yoy. Sementara itu, kredit usaha mikro mengalami pelambatan pertumbuhan paling signifikan dengan pertumbuhan 5,6% yoy pada Agustus 2024, turun dari 7% pada Juli 2024.

Ada sejumlah faktor yang menyebabkan UMKM terjepit dalam situasi sulit ini. Berakhirnya masa relaksasi restrukturisasi kredit membuat banyak UMKM kesulitan membayar kredit karena belum pulih sepenuhnya dari dampak pandemi. Inflasi yang masih tinggi dan perlambatan ekonomi global berdampak pada melemahnya daya beli masyarakat.

Hal ini menyebabkan penurunan penjualan bagi UMKM sehingga mempengaruhi kemampuan mereka dalam membayar kredit. Kebijakan Bank Indonesia dalam menaikkan suku bunga acuan untuk mengendalikan inflasi berdampak pada kenaikan suku bunga kredit. Kenaikan ini memberatkan UMKM dalam membayar cicilan kredit.

Advertisement

UMKM harus bersaing dengan perusahaan besar yang memiliki modal dan teknologi lebih baik. Kondisi ini menyebabkan banyak UMKM kesulitan untuk berkembang dan mempertahankan usahanya. Meskipun pemerintah telah meluncurkan berbagai program pembiayaan untuk UMKM, akses pembiayaan masih menjadi kendala bagi banyak UMKM, terutama yang berada di daerah pedesaan dan terpencil.

Banyak UMKM yang masih dikelola secara tradisional dan memiliki keterbatasan dalam hal manajemen dan SDM. Hal ini menyebabkan UMKM sulit untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas usahanya. Perkembangan teknologi yang pesat menuntut UMKM untuk beradaptasi. Namun, banyak UMKM yang gagap teknologi sehingga kesulitan bersaing di era digital. Beberapa regulasi yang ada masih dirasakan belum berpihak pada UMKM. Hal ini menghambat pertumbuhan dan perkembangan UMKM.

Kenaikan NPL dan menciutnya porsi kredit UMKM dapat memberikan dampak negatif yang sistemik bagi perekonomian Indonesia. UMKM merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia yang menyerap sebagian besar tenaga kerja. Jika UMKM mengalami kesulitan, maka dapat menyebabkan PHK dan meningkatkan pengangguran. Kinerja UMKM yang terganggu dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional. Kenaikan NPL juga dapat mempengaruhi kinerja perbankan dan mengancam stabilitas sistem keuangan.

Pemerintah dan OJK telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi permasalahan ini, seperti memberikan stimulus kepada UMKM, meningkatkan akses pembiayaan, meningkatkan kapasitas UMKM, dan mendorong inovasi dan digitalisasi UMKM. Namun, diperlukan upaya yang lebih komprehensif dan terintegrasi untuk mengatasi permasalahan ini secara efektif. (alief/syam)

Advertisement