FinTech
Bisnis Paylater Lagi Moncer, Solusi Finansial atau Jebakan di Tengah Lesunya Daya Beli ?

Rifinet.com, Jakarta – Layanan paylater kian populer di Indonesia, menawarkan kemudahan dan kecepatan akses kredit bagi masyarakat di tengah lesunya daya beli. Namun, pertumbuhan eksplosif ini memunculkan pertanyaan: apakah paylaterbenar-benar solusi finansial atau justru jebakan yang memperburuk kondisi ekonomi?
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Agustus 2024 menunjukkan nilai pembiayaan paylater di industri leasing mencapai Rp7,99 triliun, melonjak 89,20% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Lonjakan signifikan juga terjadi di industri perbankan, di mana baki debet kredit paylater melesat 40,68% menjadi Rp18,38 triliun hanya dalam kurun waktu satu bulan (Juli-Agustus 2024). Jumlah rekening paylaterdi perbankan pun meningkat dari 17,9 juta rekening pada Juli 2024 menjadi 18,95 juta rekening pada Agustus 2024.
Pertumbuhan pesat ini didorong oleh beberapa faktor. Pertama, penetrasi paylater ke segmen unbanked yang mencapai 67% dari total populasi Indonesia. “Potensi pasar BNPL (Buy Now Pay Later) perusahaan pembiayaan sangat lebar karena menyasar segmentasi masyarakat unbanked,” ujar Iwan Dewanto, Direktur PT Indodana Multi Finance, dalam diskusi di Jakarta, Rabu (9/10/2024).
Kedua, penurunan daya beli masyarakat akibat tekanan ekonomi dan maraknya PHK mendorong masyarakat mencari alternatif pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan. “Masyarakat akan mencari pembiayaan yang cocok bagi karakteristik masing-masing penduduk. Daya beli mereka menurun, namun di satu sisi kebutuhan mereka tetap ada, bahkan meningkat,” kata Nailul Huda, Ekonom dan Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), kepada Bisnis, Kamis (3/10/2024).
Ketiga, kemudahan akses dan proses pengajuan yang cepat menjadi daya tarik utama paylater. Berbeda dengan pengajuan kredit konvensional yang membutuhkan berbagai persyaratan dan proses yang rumit, paylater dapat diakses dengan mudah melalui aplikasi di smartphone.
Namun, di balik kemudahan dan kecepatan akses, paylater menyimpan potensi risiko yang perlu diwaspadai. Karakteristik masyarakat unbanked yang memiliki profil risiko tinggi menjadi tantangan tersendiri bagi pelaku industri. “Kita tidak mungkin mengambil unbankedsemuanya karena kami harus memastikan nasabah yang kami akuisisi harus dipastikan kemampuan membayarnya bagus,” tegas Iwan.
Rendahnya literasi keuangan, terutama di kalangan generasi muda (18-35 tahun), juga menjadi perhatian. Kemudahan akses dan proses pengajuan yang cepat berpotensi mendorong perilaku konsumtif dan menjebak pengguna dalam lingkaran utang. “Memang 18-35 tahun itu anak muda. Kemudahan itu memang membuat orang utang, ambil ambil ambil terus. Di sisi lain, kami intens melakukan literasi. Kita tidak sekadar jualan, tapi memastikan kalau nasabah berutang harus diselesaikan,” tambah Iwan.
Selain itu, paylater juga rentan terhadap penyalahgunaan data pribadi. Oleh karena itu, diperlukan regulasi yang komprehensif untuk mengatasi berbagai tantangan dan risiko yang melekat pada layanan paylater.
Huda menyoroti pentingnya regulasi yang komprehensif untuk melindungi konsumen dan menjamin keberlanjutan industri paylater. “Ketika sudah ada UU Perlindungan Data Pribadi, ya sudah sewajarnya pengaturan BNPL juga mengacu ke sana. Soal perlindungan data pihak ketiga, hingga penggunaan data pribadi. Idealnya mengacu ke UU PDP, termasuk aturan pidana soal kebocoran data pribadi,” ungkapnya.
OJK sendiri tengah mengkaji aturan main paylater, meliputi persyaratan perusahaan pembiayaan, kepemilikan sistem informasi, perlindungan data pribadi, rekam jejak audit, sistem pengamanan, akses dan penggunaan data pribadi, kerja sama dengan pihak lain, serta manajemen risiko.
Untuk memastikan keberlanjutan bisnis paylaterdan melindungi konsumen, diperlukan upaya mitigasi risiko yang komprehensif dari seluruh pemangku kepentingan.
Pertama, OJK perlu segera merampungkan dan menerapkan regulasi paylateryang komprehensif, mencakup aspek perlindungan konsumen, tata kelola perusahaan, dan manajemen risiko.
Kedua, pelaku industri dan otoritas perlu meningkatkan intensitas program literasi keuangan, khususnya bagi generasi muda, untuk meningkatkan pemahaman tentang paylater, risiko, dan cara penggunaannya yang bijak.
Ketiga, pelaku industri perlu terus mengembangkan sistem credit scoringyang akurat dan komprehensif untuk memitigasi risiko kredit macet.
Keempat, pelaku industri perlu menyampaikan informasi yang jelas, transparan, dan mudah dipahami mengenai syarat, ketentuan, biaya, dan risiko paylater kepada konsumen.
Kelima, OJK perlu memperkuat pengawasan terhadap pelaku industri dan menindak tegas pelanggaran yang terjadi.
Paylater memiliki potensi besar untuk mendorong inklusi keuangan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Namun, pertumbuhan yang pesat harus diimbangi dengan manajemen risiko yang prudent dan perlindungan konsumen yang memadai. Kolaborasi antara regulator, pelaku industri, dan masyarakat menjadi kunci untuk mewujudkan ekosistem paylateryang sehat, berkelanjutan, dan bermanfaat bagi semua pihak.
Diperlukan kebijakan yang tepat dan komprehensif untuk mengarahkan paylater sebagai instrumen pendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif, bukan sekadar alat pemenuhan kebutuhan konsumtif yang menjebak masyarakat dalam lingkaran utang. (alief/syam)
