RaksasaBisnis
Ambisi Tiongkok Taklukkan Puncak Industri Chip

Rifinet.com, Jakarta– Tiongkok tengah berambisi kuat untuk mendominasi industri semikonduktor global. Negeri Tirai Bambu ini tak segan-segan menggelontorkan investasi besar-besaran, bahkan mencapai USD 96,3 miliar (setara dengan Rp1.450 triliun), untuk mewujudkan mimpinya tersebut. Namun, jalan menuju puncak industri chip dunia ternyata tidak semulus yang dibayangkan.
Tantangan utama Tiongkok terletak pada keterbatasan akses terhadap teknologi litografi mutakhir, sebuah teknologi kunci dalam produksi chip canggih. Di sinilah peran ASML Holding NV, perusahaan asal Belanda, menjadi sangat krusial. ASML adalah satu-satunya produsen mesin litografi ultraviolet ekstrem (EUV) di dunia, teknologi yang mampu mencetak desain sirkuit rumit pada chip dengan presisi tinggi. Sayangnya, pemerintah Belanda, atas desakan Amerika Serikat, telah melarang penjualan mesin EUV ASML ke Tiongkok.
Larangan ini menjadi batu sandungan besar bagi ambisi Tiongkok. Meskipun memiliki kekuatan finansial yang besar, Tiongkok kesulitan mendapatkan mesin litografi tercanggih yang dibutuhkan untuk memproduksi chip kelas atas. Kondisi ini memaksa Tiongkok untuk berjuang mengembangkan mesin litografi sendiri, sebuah upaya yang penuh tantangan.
Tiongkok memang tidak menyerah begitu saja. Mereka telah mengumumkan keberhasilannya mengembangkan mesin litografi terbaru dengan resolusi 65 nanometer. Mesin ini merupakan peningkatan dari mesin 90 nanometer yang dikembangkan sebelumnya. Namun, teknologi ini masih jauh tertinggal dari mesin EUV ASML yang mampu mencapai resolusi di bawah 10 nanometer.
Perlu diketahui bahwa semakin kecil resolusi mesin litografi, semakin canggih dan bertenaga chip yang dapat diproduksi. Leping Huang, seorang analis teknologi di Huatai Securities, menyatakan bahwa Tiongkok membutuhkan terobosan besar untuk dapat menyamai teknologi ASML.
Membuat mesin litografi canggih bukanlah perkara mudah. Mesin ini merupakan hasil dari riset dan pengembangan selama puluhan tahun yang melibatkan ribuan insinyur dan ilmuwan, serta investasi miliaran dolar.
“Menciptakan kembali sistem litografi canggih yang butuh puluhan tahun bagi ASML untuk dikembangkan dan dikomersialkan adalah tugas yang berat bagi setiap perusahaan Tiongkok,” kata Paul Triolo, seorang pengamat di DGA Group.
Triolo menambahkan bahwa meskipun Tiongkok mungkin dapat meniru sebagian kemampuan sistem ASML, mesin litografi buatan Tiongkok kemungkinan besar tidak akan secanggih mesin ASML.
Keterbatasan teknologi ini diperparah dengan tantangan dalam hal sumber daya manusia. Industri semikonduktor membutuhkan tenaga kerja yang terampil dan berpengalaman, sementara Tiongkok masih menghadapi kekurangan tenaga kerja di bidang ini.
“Mengeluarkan uang untuk mengatasi masalah ini akan membantu, tapi hanya sedikit,” kata Lee, seorang analis industri, menekankan pentingnya pengembangan teknologi dan ketersediaan tenaga kerja yang mumpuni.
Tiongkok tampaknya mengadopsi strategi jangka panjang yang didukung oleh subsidi besar-besaran, mirip dengan strategi yang diterapkan pada industri mobil listrik. Namun, kesuksesan strategi ini di industri mobil listrik belum tentu dapat direplikasi di industri chip. Industri chip jauh lebih kompleks dan membutuhkan keahlian khusus, rantai pasokan global yang kuat, dan ekosistem inovasi yang dinamis.
Ambisi Tiongkok untuk menjadi raja chip dunia tidak bisa dilepaskan dari konteks geopolitik dan persaingan global. Amerika Serikat, yang saat ini mendominasi industri semikonduktor global, melihat kebangkitan Tiongkok sebagai ancaman.
AS telah memberlakukan pembatasan ekspor yang ketat terhadap Tiongkok, termasuk larangan penjualan mesin litografi EUV ASML. Langkah ini bertujuan untuk memperlambat laju kemajuan Tiongkok di industri semikonduktor.
Persaingan antara AS dan Tiongkok di industri chip telah memicu “perang chip” global. Negara-negara lain, seperti Korea Selatan, Taiwan, dan Jepang, juga ikut terlibat dalam persaingan ini.
Meskipun menghadapi berbagai tantangan, Tiongkok tetap berkomitmen untuk mengembangkan industri semikonduktor domestik. Pemerintah Tiongkok terus berinvestasi besar-besaran dalam riset dan pengembangan, serta memberikan dukungan kepada perusahaan-perusahaan chip lokal.
Beberapa analis memperkirakan bahwa Tiongkok pada akhirnya akan mampu mengatasi keterbatasan teknologi dan menjadi pemain utama dalam industri chip global. Namun, proses ini diperkirakan akan memakan waktu yang cukup lama.
Sebagai gambaran, Tiongkok telah meningkatkan pengeluaran untuk peralatan semikonduktor sejak AS memberlakukan pembatasan ekspor yang lebih ketat pada Oktober 2022. Pada paruh pertama tahun 2024, Tiongkok menghabiskan USD 24,73 miliar untuk membeli peralatan pembuatan chip.
Selain mesin litografi 65 nanometer, Tiongkok juga sedang mengembangkan teknologi litografi lain, seperti litografi ultraviolet dalam (DUV) dan litografi sinar elektron (EBL). Namun, teknologi-teknologi ini masih belum mampu menyamai kemampuan mesin EUV ASML.
Di sisi sumber daya manusia, pemerintah Tiongkok sedang mengupayakan berbagai program untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas tenaga kerja di sektor semikonduktor. Program-program ini meliputi peningkatan pendidikan dan pelatihan, serta pemberian insentif bagi para ahli di bidang semikonduktor.
Perang chip global telah menyebabkan gangguan pada rantai pasokan semikonduktor global. Hal ini berdampak pada berbagai industri, mulai dari elektronik konsumen hingga otomotif.
Kesimpulannya, ambisi Tiongkok untuk menjadi raja chip dunia menghadapi tantangan besar, terutama dalam hal akses terhadap teknologi litografi mutakhir dan ketersediaan tenaga kerja terampil. Meskipun Tiongkok memiliki sumber daya finansial yang melimpah dan tekad yang kuat, jalan menuju puncak industri chip dunia masih panjang dan berliku.
Keberhasilan Tiongkok akan bergantung pada kemampuannya untuk mengatasi keterbatasan teknologi, mengembangkan sumber daya manusia yang mumpuni, dan menavigasi dinamika geopolitik yang kompleks. (nova/fine)
