Connect with us

ZonaBebas

Akankah UU Telekomunikasi Direvisi? Ini Kata Menkominfo

Published

on

Rifinet.com, Jakarta– Di tengah arus deras perkembangan teknologi digital yang semakin pesat, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi justru terkesan stagnan. Regulasi yang telah berusia seperempat abad ini kini menuai sorotan tajam akibat kesenjangannya dengan realitas digital saat ini. Pertanyaan pun mengemuka: akankah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menjadikan revisi UU Telekomunikasi sebagai agenda prioritas, atau justru mempertahankan regulasi yang ada?

Sinyalemen dari pemerintah sendiri belum menunjukkan adanya urgensi untuk merevisi UU Telekomunikasi. Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi dengan tegas menyatakan bahwa revisi belum menjadi rencana utama. “Enggak, belum (ada rencana revisi),” ujarnya singkat saat ditemui di kantor Kemenkominfo, Kamis (10/10/2024).

Meskipun demikian, Budi tidak menutup kemungkinan untuk mengkaji ulang urgensi penyesuaian regulasi tersebut. “Ya, nanti kita kaji bersama ya. Apakah perlu ada adjustmentatau penyesuaian-penyesuaian,” tambahnya.

Sikap ‘wait and see’ pemerintah ini berbanding terbalik dengan desakan yang mengemuka dari berbagai kalangan. Muhammad Ridwan Effendi, pengamat telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), dengan gamblang menyampaikan bahwa UU Telekomunikasi yang ada saat ini sudah usang dan tidak mampu mengakomodasi kemajuan teknologi.

“Karena sekarang ini sudah banyak lompatan-lompatan teknologi yang nggak bisa dikejar dengan undang-undang yang lama. Jadi dari struktur perizinan tadi, terlalu kompleks,” ungkap Ridwan dalam acara Selular Business Forum, Selasa (8/11/2024).

Advertisement

Ridwan menambahkan, revisi UU Telekomunikasi diharapkan dapat mendorong iklim investasi di sektor telekomunikasi. Regulasi yang lebih adaptif akan menyederhanakan proses perizinan dan memangkas birokrasi yang berbelit.

“Sekarang ini dengan rezim yang tadi digambarkan, banyak kotak-kotaknya itu, itu ada berapa jenis yang harus dimiliki. Sehingga prosesnya panjang, dan tentunya administrasi dan modal juga menjadi pertimbangan,” jelasnya.

Bukan hanya Ridwan, sejumlah pakar, asosiasi industri, dan masyarakat juga menyuarakan perlunya revisi. Mereka menyorot berbagai permasalahan krusial yang menuntut perhatian serius pemerintah.

Salah satu permasalahan utama adalah kesenjangan antara regulasi dan konvergensi teknologi. UU Telekomunikasi lahir di era dimana teknologi masih terfragmentasi. Kini, batasan antar jenis layanan semakin kabur. Layanan telepon, internet, dan siaran menyatu dalam platform digital. UU yang ada dianggap gagal menjawab dinamika ini.

Perizinan yang rumit dan berbelit juga menjadi batu sandungan bagi perkembangan industri telekomunikasi. Struktur perizinan yang kompleks dan berlapis menghambat investasi dan inovasi. Proses yang panjang dan biaya yang tinggi membuat banyak investor enggan masuk ke Indonesia.

Advertisement

Netralitas jaringan yang menjamin akses internet yang setara bagi semua pengguna belum diatur secara eksplisit dalam UU Telekomunikasi. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya diskriminasi dan pembatasan akses oleh penyedia layanan internet.

Di era digital yang serba terhubung, perlindungan data pribadi menjadi sangat penting. Maraknya kebocoran data pribadi menunjukkan urgensi pengaturan yang lebih ketat dalam UU Telekomunikasi. Regulasi yang ada dianggap belum cukup kuat untuk menjamin keamanan data pengguna.

Selain itu, ancaman keamanan siber semakin meningkat seiring dengan perkembangan teknologi. UU Telekomunikasi perlu diperkuat untuk menghadapi ancaman siber dan melindungi infrastruktur kritis nasional.

Selain revisi UU Telekomunikasi, Ridwan juga menyarankan pemerintah untuk membentuk kembali regulator independen di sektor telekomunikasi. Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang dibubarkan pada tahun 2020 diharapkan dapat dihidupkan kembali untuk menjamin penegakan aturan dan menciptakan iklim persaingan yang sehat.

BRTI dianggap memiliki peran krusial dalam mengawasi industri telekomunikasi, menyelesaikan sengketa, dan melindungi kepentingan konsumen. Keberadaan regulator independen diyakini akan meningkatkan kepercayaan investor dan mendorong pertumbuhan sektor telekomunikasi.

Advertisement

Revisi UU Telekomunikasi bukanlah perkara mudah. Pemerintah harus mampu mengakomodasi kepentingan berbagai pihak, mulai dari operator telekomunikasi, penyedia layanan internet, hingga masyarakat sebagai pengguna.

Diperlukan political will yang kuat dan komitmen untuk menciptakan regulasi yang progresif dan berpihak pada kepentingan nasional. UU Telekomunikasi yang baru nantinya diharapkan mampu mendorong transformasi digital, mempercepat pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan daya saing bangsa.

Namun, tantangan lain yang menghantui adalah potensi terjadinya benturan kepentingan. Industri telekomunikasi di Indonesia didominasi oleh beberapa pemain besar yang memiliki pengaruh politik yang signifikan. Hal ini dapat mempengaruhi proses revisi dan mengarah pada regulasi yang menguntungkan segelintir pihak saja.

Tantangan lainnya adalah kurangnya kesadaran publik akan pentingnya revisi UU Telekomunikasi. Masyarakat umum cenderung belum memahami dampak dari regulasi yang usang terhadap akses internet, perlindungan data pribadi, dan keamanan siber. Oleh karena itu, diperlukan upaya edukasi dan sosialisasi yang masif untuk meningkatkan pemahaman publik.

Di tengah tantangan tersebut, masih ada harapan bahwa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto akan memberikan perhatian serius terhadap revisi UU Telekomunikasi. Publik menantikan kebijakan yang strategis dan visioner untuk mewujudkan Indonesia terkoneksi yang lebih baik.

Advertisement

Masyarakat mengharapkan agar pemerintah dapat menciptakan regulasi yang mampu menjembatani kesenjangan digital, mendorong inovasi, dan memastikan bahwa teknologi dimanfaatkan untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. (alief/syam)