RaksasaBisnis
Beban Biaya Regulator Tinggi, Operator Seluler Desak Pemerintah Kaji Ulang Kebijakan
Rifinet.com, Jakarta– Industri telekomunikasi Indonesia saat ini berada di persimpangan jalan. Di tengah tuntutan untuk terus meningkatkan kualitas layanan, memperluas jangkauan jaringan, dan mengakselerasi penggelaran teknologi 5G, operator seluler dihadapkan pada beban biaya regulator yang tinggi.
Biaya ini mencapai 13-14% dari pendapatan, jauh di atas rata-rata biaya regulator di Asia Tenggara yang hanya 7%. Kondisi ini memicu kekhawatiran para pelaku industri, termasuk Presiden Direktur dan CEO PT XL Axiata Tbk., Dian Siswarini, yang menyuarakan keluhannya saat Media Gathering di Yogyakarta, Rabu (23/10).
Dian menyebut regulatory charges, termasuk di antaranya Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi, cukup memberatkan dan menghambat ekspansi jaringan, terutama ke daerah-daerah rural yang belum terjangkau layanan telekomunikasi. “Regulatory charges sebesar 13-14% dari pendapatan membuat kami sulit mengembangkan infrastruktur selanjutnya,” ungkapnya.
Director & Chief Business Officer PT Indosat Tbk., Danny Buldansyah, juga menyampaikan keprihatinan yang sama. Ia berharap Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Meutya Hafid, bersedia mengkaji ulang struktur biaya regulator yang dinilai kurang relevan dengan kondisi saat ini. Danny mengungkapkan bahwa idealnya biaya regulator berada di kisaran 6-7%, agar operator seluler memiliki ruang yang lebih leluasa untuk berinvestasi dan meningkatkan kualitas layanan.
Tingginya biaya regulator ini dikhawatirkan akan memperlambat penggelaran teknologi 5G di Indonesia. Investasi yang dibutuhkan untuk membangun infrastruktur 5G sangat besar. Jika operator terbebani dengan biaya regulator yang tinggi, maka dana untuk ekspansi akan terbatas. “Penggelaran jaringan 5G membutuhkan investasi yang cukup besar. Apabila regulatory charges masih mahal, maka 5G hanya akan menjadi angan-angan,” tegas Dian.
Permasalahan biaya regulator ini juga disoroti oleh Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (APJATEL). Ketua Umum APJATEL, Jerry Siregar, menyoroti sejumlah isu yang belum terselesaikan di industri telekomunikasi, seperti perizinan dan sewa jaringan utilitas. “Tarif sewa jaringan utilitas itu masih terjadi mindsetyang berbeda dari pimpinan-pimpinan daerah,” kata Jerry dalam acara Bisnis Indonesia Forum (BIF).
Jerry menyampaikan bahwa Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah telah diubah menjadi Permendagri Nomor 7 Tahun 2024. Dalam pasal 128 nomor 6 dan 7 Permendagri tersebut dijelaskan bahwa jika pemerintah daerah (Pemda) dan pemerintah kota (Pemkot) tidak melaksanakan atau membangun sarana jaringan utilitas terpadu, maka Pemda/Pemkot tersebut tidak dapat menerapkan penarikan biaya sewa jaringan fiber optic. “Tapi jika mereka atau Pemda/Pemkot dalam hal ini membangun sarana jaringan utilitas terpadu, maka faktor penyewa sebesar 4–16%,” imbuh Jerry.
Biaya regulator yang dibebankan kepada operator seluler terdiri dari beberapa komponen. Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi merupakan biaya yang dibayarkan oleh operator seluler kepada pemerintah atas hak penggunaan spektrum frekuensi radio untuk menyelenggarakan layanan telekomunikasi.
BHP frekuensi merupakan salah satu komponen biaya regulator terbesar yang dibebankan kepada operator seluler. Selain BHP frekuensi, terdapat juga Biaya Izin Penyelenggaraan (BIP) yang harus dibayarkan oleh operator seluler untuk memperoleh izin penyelenggaraan layanan telekomunikasi dari pemerintah.
Operator seluler juga diwajibkan untuk menyisihkan sebagian pendapatannya untuk mendanai program Universal Service Obligation (USO), yaitu kewajiban untuk menyediakan layanan telekomunikasi di daerah yang belum terjangkau layanan komersial. Selain itu, terdapat juga biaya-biaya lainnya seperti biaya pengujian perangkat telekomunikasi, biaya sertifikasi, dan biaya administrasi lainnya.
Tingginya biaya regulator dapat memberikan dampak negatif yang cukup signifikan bagi industri telekomunikasi dan perekonomian nasional. Operator seluler akan cenderung mengurangi investasi jika dibebani dengan biaya regulator yang tinggi, sehingga menghambat penggelaran infrastruktur telekomunikasi dan memperlambat peningkatan kualitas layanan. Pada akhirnya, hal ini dapat meningkatkan tarif layanan telekomunikasi dan mengurangi daya saing industri telekomunikasi nasional dibandingkan dengan operator seluler di negara lain.
Desakan para operator seluler agar pemerintah mengkaji ulang struktur biaya regulator merupakan hal yang wajar. Beban biaya regulator yang terlalu tinggi dapat menghambat pertumbuhan industri telekomunikasi dan mengurangi daya saing Indonesia di kancah global. Pemerintah perlu mencari solusi yang tepat agar industri telekomunikasi dapat berkembang secara optimal dan memberikan kontribusi yang maksimal bagi perekonomian nasional.
Peninjauan ulang kebijakan biaya regulator harus dilakukan secara komprehensif dengan mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk menyesuaikan besaran biaya regulator dengan kondisi industri telekomunikasi saat ini, menerapkan skema biaya regulator yang lebih fleksibel, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan biaya regulator, serta melakukan kajian terhadap dampak biaya regulator terhadap industri telekomunikasi.
Pemerintah diharapkan dapat merespons aspirasi para pelaku industri telekomunikasi dan mengambil langkah-langkah strategis untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi perkembangan industri telekomunikasi di Indonesia.
Berdasarkan data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), penetrasi internet di Indonesia mencapai 77% pada tahun 2023, dengan jumlah pengguna internet diperkirakan mencapai 210 juta jiwa (Statista). Industri telekomunikasi memberikan kontribusi sebesar 4% terhadap PDB Indonesia (Kementerian Komunikasi dan Informatika). Indonesia memiliki lebih dari 170 juta pelanggan seluler (GSMA Intelligence).
Dengan potensi pasar yang besar ini, industri telekomunikasi Indonesia memiliki peluang untuk tumbuh dan berkembang pesat, namun hal ini tidak akan tercapai jika operator seluler terbebani dengan beban biaya regulator yang tinggi.
Pemerintah memiliki peran krusial dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi perkembangan industri telekomunikasi. Kebijakan yang diambil harus mampu menyeimbangkan kepentingan semua pihak, baik operator seluler, konsumen, maupun pemerintah itu sendiri. Peninjauan ulang struktur biaya regulator merupakan salah satu langkah strategis yang dapat diambil pemerintah untuk mendorong pertumbuhan industri telekomunikasi.
Dalam menetapkan biaya regulator, pemerintah perlu mempertimbangkan beberapa faktor, seperti tingkat pengembalian investasi operator seluler, kebutuhan pendanaan program USO, serta daya saing industri telekomunikasi nasional. Biaya regulator yang terlalu tinggi dapat menghambat investasi dan inovasi, sementara biaya regulator yang terlalu rendah dapat mengurangi pendapatan pemerintah dan menghambat pengembangan infrastruktur telekomunikasi di daerah yang belum terjangkau layanan komersial.
Selain menyesuaikan besaran biaya regulator, pemerintah juga perlu mempertimbangkan untuk menerapkan skema biaya regulator yang lebih fleksibel. Skema biaya regulator yang kaku dapat menghambat inovasi dan perkembangan teknologi. Pemerintah dapat menerapkan skema biaya regulator yang berbeda untuk jenis layanan telekomunikasi yang berbeda, atau menerapkan skema biaya regulator yang bersifat progresif berdasarkan pendapatan operator seluler.
Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan biaya regulator juga merupakan hal yang sangat penting. Pemerintah harus memberikan informasi yang jelas dan terbuka mengenai penggunaan biaya regulator, sehingga publik dapat memantau dan mengevaluasi penggunaan biaya regulator tersebut.
Pemerintah juga perlu melakukan kajian secara komprehensif terhadap dampak biaya regulator terhadap industri telekomunikasi. Kajian ini penting untuk mengidentifikasi permasalahan dan merumuskan solusi yang tepat. Kajian tersebut dapat melibatkan berbagai pihak, termasuk operator seluler, akademisi, dan masyarakat.
Dengan mengambil langkah-langkah strategis tersebut, pemerintah dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi perkembangan industri telekomunikasi di Indonesia. Industri telekomunikasi yang sehat dan berkembang akan memberikan banyak manfaat bagi perekonomian nasional, antara lain meningkatkan produktivitas, menciptakan lapangan kerja, dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Di era digital saat ini, industri telekomunikasi memiliki peran yang sangat penting dalam mendukung berbagai aktivitas ekonomi dan sosial. Pemerintah dan operator seluler harus bekerja sama untuk memastikan bahwa industri telekomunikasi di Indonesia dapat terus tumbuh dan berkembang, sehingga dapat memberikan kontribusi yang optimal bagi kemajuan bangsa. (alief/syam)