CakrawalaTekno
Apple dan Dilema Etika di Balik Penerapan AI pada Fotografi
Rifinet.com, Jakarta– Apple, perusahaan teknologi raksasa yang dikenal dengan inovasi dan desainnya yang elegan, selalu mengambil langkah hati-hati dalam mengadopsi teknologi baru. Sikap ini kembali terlihat dalam pendekatan mereka terhadap kecerdasan buatan (AI). Meskipun iPhone 16 diluncurkan dengan janji integrasi AI yang mendalam melalui fitur “Apple Intelligence”, lebih dari sebulan setelah rilis, fitur tersebut masih belum tersedia untuk publik.
Penundaan ini menimbulkan pertanyaan dan spekulasi. Apakah Apple menghadapi kesulitan teknis dalam mengembangkan fitur AI yang memenuhi standar tinggi mereka? Atau ada pertimbangan lain yang lebih mendasar?
Craig Federighi, Senior Vice President of Software Engineering Apple, memberikan sedikit jawaban dalam wawancara eksklusif dengan Wall Street Journal. Federighi mengungkapkan bahwa Apple tengah bergulat dengan dilema etika dalam penerapan AI, terutama pada fitur pengolahan foto.
“Kami ingin menghadirkan fitur AI yang inovatif, tetapi tetap menjaga keaslian dan integritas foto,” ungkap Federighi. “Ponsel kami digunakan jutaan orang setiap hari. Adalah tanggung jawab kami untuk memberikan informasi yang akurat, bukan fantasi.”
Pernyataan Federighi merujuk pada fitur “Clean Up” yang akan hadir di iOS 18.1. Fitur ini memungkinkan pengguna menghapus objek atau orang dari foto. Sekilas, fitur ini tampak sederhana, bahkan terkesan minimalis jika dibandingkan dengan kemampuan AI generatif milik kompetitor seperti Google dengan “Magic Eraser” di Google Photos atau Samsung dengan “Object Eraser” di aplikasi Gallery mereka. Kedua fitur tersebut mampu menciptakan gambar realistis dari nol, memanipulasi foto secara ekstensif, dan bahkan menambahkan objek baru.
Namun, di balik kesederhanaannya, “Clean Up” ternyata memicu perdebatan sengit di internal Apple. “Kami berdebat panjang lebar, apakah etis untuk memudahkan pengguna menghapus objek dari foto?,” ujar Federighi. “Botol air atau mikrofon itu memang ada di sana saat foto diambil. Menghapusnya berarti mengubah realitas.”
Kekhawatiran Apple berpusat pada dampak AI terhadap persepsi publik tentang kebenaran fotografi. Di era di mana manipulasi gambar semakin mudah dilakukan, bagaimana publik bisa membedakan foto asli dan editan? Akankah kepercayaan terhadap foto sebagai bukti otentik tergerus?
Federighi mencontohkan fitur “Reimagine” dari Google yang memungkinkan pengguna menambahkan objek fantastis ke dalam foto hanya dengan perintah teks. Bayangkan betapa mudahnya menyebarkan disinformasi dengan fitur semacam itu. Contoh lain adalah kemampuan AI generatif untuk menciptakan “foto” orang yang sebenarnya tidak ada, yang dapat digunakan untuk penipuan atau manipulasi identitas.
Untuk menghindari potensi penyalahgunaan, Apple Intelligence (saat ini masih dalam versi beta) tidak mengizinkan manipulasi gambar secara bebas. Foto yang diedit dengan “Clean Up” akan ditandai dengan label “Modified with Clean Up” di aplikasi Photos dan metadata-nya akan memuat informasi bahwa foto tersebut telah diubah.
Pendekatan hati-hati Apple ini sejalan dengan filosofi perusahaan yang selalu mengutamakan privasi dan keamanan pengguna. Apple telah lama menjadi pionir dalam perlindungan data pengguna, dan mereka berkomitmen untuk menerapkan standar yang sama dalam pengembangan dan penerapan AI. Contohnya, Apple menggunakan teknik on-device processing untuk banyak fitur AI mereka, yang berarti data pengguna diproses di perangkat itu sendiri, bukan di server cloud. Hal ini meminimalkan risiko kebocoran data dan melindungi privasi pengguna.
Namun, kehati-hatian Apple juga menimbulkan pertanyaan tentang daya saing mereka di pasar AI yang semakin kompetitif. Google, Microsoft, dan Meta telah meluncurkan berbagai produk dan layanan berbasis AI generatif yang inovatif, mulai dari chatbot hingga alat bantu pembuatan konten.
Apakah Apple akan tertinggal dalam perlombaan AI ini? Atau mereka justru akan menjadi pemimpin dalam pengembangan AI yang etis dan bertanggung jawab?
Hanya waktu yang akan menjawab. Namun, satu hal yang pasti: Apple tidak akan mengorbankan prinsip-prinsip etika demi mengejar inovasi semata. Mereka percaya bahwa AI harus digunakan untuk memberdayakan manusia, bukan untuk menggantikan atau memanipulasi mereka.
Kekhawatiran Apple tentang etika AI juga tercermin dalam partisipasi mereka dalam berbagai inisiatif dan diskusi global tentang etika AI. Apple secara aktif terlibat dalam Partnership on AI, sebuah organisasi yang beranggotakan perusahaan teknologi, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil yang bertujuan untuk memajukan pemahaman publik tentang AI dan mengembangkan praktik terbaik untuk pengembangan dan penerapan AI yang bertanggung jawab.
Selain itu, Apple juga telah menerbitkan serangkaian dokumen yang menguraikan prinsip-prinsip etika AI mereka. Dokumen-dokumen ini menekankan pentingnya transparansi, akuntabilitas, keadilan, dan privasi dalam pengembangan dan penerapan AI. Apple juga berkomitmen untuk menggunakan AI untuk kebaikan sosial, seperti dalam pengembangan aplikasi kesehatan dan aksesibilitas.
Dengan pendekatan yang bertanggung jawab dan etis, Apple dapat menjadi contoh bagi perusahaan lain dalam mengembangkan dan menerapkan AI. Mereka menunjukkan bahwa inovasi dan etika bukanlah dua hal yang saling bertentangan, melainkan dua sisi dari mata uang yang sama.
Di masa depan, AI akan semakin terintegrasi dalam kehidupan kita. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memastikan bahwa AI dikembangkan dan diterapkan dengan cara yang etis dan bertanggung jawab, sehingga dapat memberikan manfaat bagi seluruh umat manusia. (nova/fine)